Beranda | Artikel
Hukum Asal Vaksinasi
Minggu, 23 Oktober 2011

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz rahimahullah, ketua Al Lajnah Ad Daimah di masa silam pernah ditanya mengenai hukum imunisasi (vaksinasi), “Apa hukum berobat sebelum tertimba penyakit seperti dengan melakukan vaksinasi?”

 

Jawab Syaikh rahimahullah, “Tidak mengapa berobat dengan cara seperti itu jika dikhawatirkan tertimpa penyakit karena adanya wabah atau sebab-sebab lainnya. Dan tidak masalah menggunakan obat untuk menolak atau menghindari wabah yang dikhawatirkan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih (yang artinya),“Barangsiapa makan tujuh butir kurma Madinah (kurma ajwa) pada pagi hari, ia tidak akan terkena pengaruh buruk sihir atau racun”[1]

Ini termasuk tindakan mencegah penyakit sebelum terjadi. Demikian juga jika dikhawatirkan timbulnya suatu penyakit dan dilakukan imunisasi untuk melawan penyakit yang muncul di suatu tempat atau di mana saja, maka hal itu tidak masalah, karena hal itu termasuk tindakan pencegahan. Sebagaimana penyakit yang saat itu ada boleh diobati, demikian juga penyakit yang dikhawatirkan kemunculannya.

[Majmu’ Fatawa wa Maqolat Mutanawwi’ah, jilid keenam, pada link: http://www.binbaz.org.sa/mat/238]

Jika Ada Dampak Bahaya dari Imunisasi (Vaksinasi)

Jika ada efek negatif yang timbul setelah penggunaan beberapa vaksinasi, seperti badan yang menjadi panas dan penyakit yang timbul sementara waktu, bahaya seperti ini dimaafkan karena demi mengatasi penyakit yang lebih parah yang akan muncul. Di mana penyakit itu bisa membawa pada kematian atau bahaya lainnya yang mengganggu kesehatan atau kerja organ tubuhnya. Efek negatif seperti ini juga kita temukan dalam syari’at khitan pada anak kecil. Kala khitan, ujung kulit kemaluannya dipotong dan ini tentu akan terasa sakit bagi si kecil. Namun ada timbal balik dari yang dilakukan saat itu, yaitu ia akan memperoleh maslahat berkaitan dengan diin-nya, dirinya akan semakin bersih ketika berthoharoh (bersuci). Juga ada maslahat duniawiyah di balik khitan. Kaedah syar’iyyah menunjukkan dibolehkannya hal ini, yaitu: memilih melakukan salah satu dari dua mafsadat (kerusakan) yang lebih ringan untuk menghindari maslahat yang lebih besar jika kedua mafsadat tersebut tidak dapat dihindari secara bersamaan.

Adapun jika dokter menyatakan bahwa vaksinasi jenis tertentu malah menimbulkan bahaya lebih besar pada jasad atau penyakit yang ditimbulkan nantinya lebih parah, maka vaksinasi seperti ini tidak boleh dilakukan. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لا ضَرَرَ ولا ضِرارَ

Tidak boleh memulai memberi dampak buruk (mudhorot) pada orang lain, begitu pula membalasnya.[2]

[Dinukil dari bahasan dalam web Al Fiqh Al Islami pada link: http://www.islamfeqh.com/News/NewsItem.aspx?NewsItemID=690]

@ Ummul Hamam, Riyadh KSA

22 Dzulqo’dah 1432 H (20/10/2011)

www.rumaysho.com

 


[1] HR. Muslim no. 2047.

[2] HR. Ibnu Majah no. 2340, Ad Daruquthni 3/77, Al Baihaqi 6/69, Al Hakim 2/66. Kata Syaikh Al Albani hadits ini shahih


Artikel asli: https://rumaysho.com/2019-hukum-asal-vaksinasi.html